
Pentingnya Konsultasi dan Terapi untuk Gangguan Bipolar dan Skizofrenia
Masyarakat diimbau untuk segera melakukan konsultasi dan menjalani terapi apabila menemukan gejala Gangguan Bipolar (GB) maupun Skizofrenia, baik pada diri sendiri maupun orang terdekat. Kedua gangguan ini memerlukan intervensi medis yang cepat dan tepat agar tidak berkembang menjadi kondisi yang lebih parah.
Konsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan (psikiater) sangat penting dalam penanganan kedua gangguan tersebut. Penanganan harus dilakukan secara menyeluruh, dengan fokus utama pada stabilisasi ketidakseimbangan zat kimia di otak melalui pengobatan. Selain itu, dukungan dari orang-orang terdekat juga sangat dibutuhkan agar penderita tetap patuh menjalani terapi. Pemerintah juga diminta berperan dalam menyediakan skema pengobatan yang berkelanjutan, termasuk dalam pembiayaannya, serta menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan para penyintas.
Penjelasan Mengenai Skizofrenia
Menurut dr. Ashwin Kandouw, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, Skizofrenia merupakan gangguan mental berat yang bersifat kronis dan berdampak pada pola pikir, emosi, serta perilaku penderita. Gangguan pikiran pada penderita bisa berupa kekacauan proses pikir yang terlihat melalui cara bicara yang kacau, atau gangguan isi pikir yang tampak sebagai waham yaitu keyakinan yang salah dan tidak sesuai dengan realita yang ada, tapi diyakini oleh penderita.
Gangguan pada aspek perasaan bisa muncul dalam bentuk emosi yang tumpul atau mood yang tidak stabil. Sementara gangguan perilaku seringkali tampak sebagai tindakan yang tidak terkontrol, bahkan agresif. Penderita juga bisa mengalami gangguan persepsi melalui halusinasi, yakni merasakan sesuatu melalui panca indera padahal tidak ada rangsang yang nyata.
Pengertian tentang Gangguan Bipolar
Sementara itu, Gangguan Bipolar atau GB adalah kondisi kejiwaan yang memengaruhi suasana hati atau mood seseorang. Istilah “bipolar” merujuk pada dua kutub emosi ekstrem, yaitu mania dan depresi.
Pada fase mania, penderita mengalami gejala seperti kegembiraan dan rasa percaya diri yang berlebihan, munculnya banyak ide secara bersamaan, peningkatan energi dan semangat, dorongan bicara yang tinggi, belanja impulsif, hingga perilaku sembrono dan berisiko. Nafsu makan dan libido pun dapat meningkat secara tidak biasa.
Sedangkan fase depresi ditandai dengan kesedihan yang dalam dan berkepanjangan, hilangnya minat pada aktivitas yang biasanya menyenangkan, penurunan energi, gangguan tidur, menurunnya kepercayaan diri, serta kecenderungan menyakiti diri sendiri atau keinginan untuk mengakhiri hidup.
Kesamaan antara Skizofrenia dan Gangguan Bipolar
Meskipun berbeda, dr. Ashwin menjelaskan bahwa Skizofrenia dan GB memiliki sejumlah kesamaan. Keduanya sama-sama terjadi gangguan keseimbangan kimia otak, bersifat kronis artinya perjalanan penyakitnya lama, bersifat kambuhan, artinya ada saat gejala bisa berkurang tapi juga ada saatnya bisa kambuh lagi. Kedua gangguan ini juga mengganggu fungsi dan produktivitas penderita, menyebabkan penderitaan baik bagi penderita maupun keluarga dan orang-orang di sekitar penderita.
Kecepatan Penanganan dan Dampaknya
Semakin cepat gangguan ini dikenali dan ditangani, semakin besar peluang penderita untuk pulih. Sebaliknya, penanganan yang terlambat bisa memperburuk kondisi, karena setiap kali kambuh, akan terjadi kerusakan pada sel otak yang bersifat permanen. Artinya semakin jarang kambuh, semakin banyak sel otak yang terselamatkan. Dan semakin sering kambuh, semakin banyak sel otak yang mengalami kerusakan. Perlu diketahui bahwa sel otak yang sudah rusak cenderung tidak bisa pulih lagi.
Peran Diagnosis dan Kepatuhan Terapi
dr. Ashwin menekankan pentingnya diagnosis yang cepat dan akurat oleh tenaga medis profesional, serta pentingnya kepatuhan menjalani terapi untuk meminimalkan kekambuhan. Data menunjukkan bahwa prevalensi Skizofrenia dan GB masing-masing mencapai sekitar satu persen dari populasi.
Namun, ada berbagai tantangan yang membuat penderita kesulitan mengakses layanan kesehatan jiwa, seperti kurangnya pemahaman, keterbatasan fasilitas dan obat, penolakan dari pihak keluarga maupun penderita sendiri, serta kuatnya stigma negatif dari masyarakat yang sering kali membuat penderita mencari pengobatan alternatif terlebih dahulu.
Dengan memahami masalah di atas maka dapat terlihat bahwa setiap pihak yang terkait dengan gangguan-gangguan ini perlu berkontribusi agar penderita bisa cepat mendapatkan pertolongan yang terbaik sesuai kondisinya. Ketidakpahaman bisa diatasi dengan sosialisasi dan edukasi kepada seluruh masyarakat. Diperlukan adanya perbaikan akses pengobatan dengan penyediaan fasilitas yang lebih merata dan memperbaiki ketersediaan obat, destigmatisasi oleh seluruh pihak terkait.