
Penelitian Paleotsunami di Pesisir Selatan Jawa
Tim peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan survei paleotsunami di pesisir selatan Jawa. Survei yang dilaksanakan pada Mei lalu merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya. Dalam riset sebelumnya, tim menemukan adanya jejak tsunami purba yang sangat besar. Peristiwa tersebut diduga dipicu oleh gempa megathrust dengan kekuatan lebih dari 9 SR.
Survei paleotsunami ini dilakukan di wilayah Kulon Progo, Yogyakarta. Tujuan utamanya adalah untuk mengisi kekosongan informasi sejarah tsunami di Indonesia. Kegiatan ilmiah ini bertujuan mendeteksi jejak-jejak tsunami purba berdasarkan data geologi melalui lapisan sedimen yang tersimpan di tanah dan batuan. Dengan demikian, tim dapat memetakan peristiwa tsunami yang terjadi ribuan tahun lalu.
Berdasarkan survei lapangan yang berlangsung sejak 2006 hingga 2024, tim menemukan adanya lapisan endapan tsunami purba. Salah satu contohnya diperkirakan berasal dari kejadian tsunami sekitar 1.800 tahun lalu. Endapan tersebut tersebar di beberapa wilayah pesisir selatan Jawa, seperti Lebak, Pangandaran, Kulon Progo, hingga Pacitan.
Temuan endapan tsunami dengan usia serupa di berbagai lokasi sepanjang pesisir selatan Jawa menunjukkan bahwa peristiwa tersebut sangat besar, mungkin merupakan akibat dari gempa megathrust dengan magnitudo 9 atau lebih. Hal ini mirip dengan peristiwa tsunami Aceh 2004.
Untuk melengkapi temuan tersebut, BRIN kembali melakukan survei di wilayah selatan Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul pada Mei lalu. Fokus utama survei ini adalah mencari jejak tsunami yang lebih muda usianya. Berdasarkan hipotesis, perulangan gempa besar dengan magnitudo lebih dari 9.0 di pesisir selatan Jawa terjadi sekitar setiap 675 tahun.
Periset bidang sedimentologi BRIN, Purna Sulastya Putra, menjelaskan bahwa survei ini merupakan kelanjutan dari riset sebelumnya yang telah menemukan endapan tsunami purba berusia sekitar 1.800 tahun lalu di beberapa lokasi pesisir selatan Jawa, termasuk di area pantai selatan Kulon Progo. Ia menyebutkan bahwa dalam survei kali ini, tim juga menemukan lapisan-lapisan yang lebih muda di wilayah Kulon Progo.
Keberadaan lapisan-lapisan yang lebih muda ini sebelumnya sudah ditemukan di lokasi lain seperti Lebak dan Pangandaran. Temuan ini menunjukkan bahwa kejadian tsunami besar kemungkinan telah berulang lebih dari sekali di wilayah tersebut.
Lokasi temuan tersebut berjarak sekitar dua kilometer sebelah timur dari Bandara Internasional Yogyakarta (YIA). Meskipun Bandara YIA berjarak hanya 300 meter dari bibir pantai, fasilitas penahan tsunami yang memadai belum tersedia. Hal ini berbeda dengan Bandara Sendai di Jepang yang meski berjarak satu kilometer dari bibir pantai, tetap terdampak parah oleh tsunami Tohoku pada 2011 lalu meskipun memiliki tanggul dan hutan buatan.
Purna menilai bahwa perkembangan kawasan sekitar Bandara YIA akan semakin pesat. Diiringi pembangunan berbagai fasilitas seperti hotel, restoran, hingga destinasi wisata baru. Meski perkembangan ini memberikan dampak positif dari sisi ekonomi, secara tidak langsung juga meningkatkan kerentanan wilayah terhadap potensi bencana.
Menurutnya, pembangunan yang masif tanpa memperhitungkan risiko kebencanaan bisa memperbesar dampak jika terjadi peristiwa ekstrem seperti tsunami. Melalui kajian kebencanaan seperti ini, BRIN terus mendorong agar sains menjadi bagian tak terpisahkan dari proses perencanaan dan pembangunan, khususnya di wilayah rawan bencana.
Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana gempa bumi dan tsunami, terutama di pesisir selatan Jawa. Wilayah ini berada di pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Sayangnya, catatan sejarah tentang peristiwa tsunami di wilayah ini masih sangat terbatas. Dengan demikian, ancaman besar yang pernah terjadi di masa lalu bisa saja dilewatkan, seperti yang terjadi pada kasus tsunami Aceh 2004.