
Kuliner Khas Sulawesi Tenggara: Kabuto, Makanan Tradisional yang Memiliki Makna Mendalam
Sulawesi Tenggara (Sultra) dikenal memiliki beragam kuliner khas yang unik dan menarik. Salah satu makanan tradisional yang patut dicoba adalah Kabuto. Makanan ini berasal dari Kabupaten Muna dan memiliki sejarah serta makna budaya yang dalam.
Asal Usul dan Makna Kabuto
Kata "Kabuto" berasal dari bahasa Muna yang artinya rusak atau busuk. Meskipun terdengar negatif, kata ini justru menggambarkan proses pembuatan makanan ini yang melibatkan fermentasi singkong. Kabuto dibuat dari ubi kayu atau singkong yang diolah secara khusus hingga memiliki rasa dan tekstur khas.
Sejak dahulu, masyarakat Muna menggunakan Kabuto sebagai pengganti nasi, terutama ketika hasil panen tidak cukup. Keberadaannya mencerminkan kearifan lokal dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap kondisi alam. Kabuto juga menjadi simbol semangat pantang menyerah, kesabaran, kerja keras, dan kemandirian yang diajarkan dari generasi ke generasi.
Proses Pembuatan Kabuto
Pembuatan Kabuto memerlukan beberapa tahapan. Pertama, singkong dikupas dan dijemur selama tiga hari. Setelah itu, singkong dimasukkan ke dalam karung tebal dan diperam selama dua malam. Proses ini membantu singkong berjamur dan menghasilkan tekstur yang khas.
Jika terlalu lama disimpan dalam karung, rasanya bisa menjadi pahit. Oleh karena itu, waktu penyimpanan harus tepat agar hasilnya optimal. Setelah proses tersebut, Kabuto siap untuk dijual atau diolah lebih lanjut menjadi berbagai olahan seperti kantinibhera, hogo-hogo, dan kantofi.
Cara Memasak Kabuto
Ada beberapa cara memasak Kabuto sesuai dengan jenis olahannya:
- Kantinibhera: Kabuto dibelah dan dipotong pendek, lalu direndam beberapa jam sebelum dimasak. Teksturnya akan kenyal dan lembut.
- Hogo-hogo: Singkong dikupas, dicacah kasar, lalu dikukus hingga matang. Biasanya disajikan bersama parutan kelapa.
- Kantofi: Singkong ditumbuk halus, lalu dibasahi air sedikit demi sedikit hingga menggumpal. Olahan ini biasanya disajikan dalam wadah kerucut dari anyaman daun kelapa.
Cara memasak kantofi pada zaman dulu menggunakan belanga tanah liat dan kayu bakar, namun saat ini sudah jarang digunakan.
Harga dan Lokasi Penjualan Kabuto
Di pasar maupun rumah makan, Kabuto dapat ditemukan dengan harga yang berbeda-beda. Di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Muna Barat, harga Kabuto berkisar Rp10 ribu per 10 batang. Namun, harga bisa berubah sesuai musim dan kondisi pasar.
Di Kota Kendari, Kabuto bisa ditemukan di Kedai Ratu Alam, Jalan Poros KM 40. Sementara di Kabupaten Muna, olahan Kabuto tersedia di Lapak dekat Pelabuhan Nusantara Raha dan Tugu Jati. Harga per bungkus berkisar Rp5 ribu, belum termasuk lauk-pauk.
Kabuto Sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Hebatnya lagi, Kabuto telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2024, Kementerian Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menetapkan Kabuto sebagai bagian dari WBTB. Sertifikat ini diterima oleh Pj Gubernur Sultra, Andap Budhi Revianto.
Masuknya Kabuto sebagai WBTB menambah daftar warisan budaya provinsi ini. Saat ini, Sulawesi Tenggara memiliki 37 Warisan Budaya Tak Benda, termasuk Kabuto, Haroa, Tari Galangi, dan lainnya.
Kesimpulan
Kabuto bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga representasi dari kearifan lokal dan nilai-nilai budaya masyarakat Muna. Dengan proses pembuatan yang rumit dan cita rasa khas, Kabuto layak menjadi salah satu kuliner yang dicoba saat berkunjung ke Sulawesi Tenggara.