
Serangkaian Gempa di Kabupaten Seram Bagian Barat
Sejak 7 Juni 2025 hingga awal bulan ini, serangkaian gempa mengakibatkan kerusakan pada 971 bangunan warga di tujuh desa di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Tim tanggap darurat Badan Geologi Bandung, yang terdiri dari anggota Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), melakukan penelitian di lokasi gempa. Mereka menduga bahwa gempa beruntun ini termasuk dalam kategori multiplex earthquake, yaitu gempa yang terjadi secara berulang dengan selang waktu yang sangat pendek.
Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami PVMBG, Supartoyo, menyatakan bahwa rentetan gempa ini diduga terkait dengan aktivitas sesar aktif. Berdasarkan peta seismotektonik, Badan Geologi menemukan pola retakan lurus ke arah barat-timur di selat antara Pulau Seram dan Pulau Saparua-Haruku. Penduduk setempat merasakan gempa yang menyebabkan kepanikan dan kecemasan.
Selain Supartoyo, tim juga melibatkan Tudi Untoro dari PVMBG serta Juliana Doris Jane Rumambi dari Balai Pemantauan Gunung Api dan Mitigasi Bencana Gerakan Tanah Wilayah Sulawesi dan Maluku. Menurut laporan tim, gempa yang merusak terjadi dua kali dengan kekuatan sama, yaitu magnitudo 4,9. Gempa pertama tercatat pada 22 Juni 2025, dengan episentrum hanya 6 kilometer di arah barat laut Amalatu, kedalaman 10-37 kilometer. Gempa berikutnya terjadi pada 4 Juli, dengan jarak 5 kilometer di arah barat laut Amalatu, kedalaman 10 kilometer.
Daerah Kecamatan Amalatu mengalami kerusakan bangunan berkategori ringan hingga sedang, seperti retakan dinding, tembok roboh, dan plester mengelupas. Total 971 bangunan rusak, terutama rumah. Rincian kerusakan mencakup 375 unit di Desa Latu, 271 unit di Desa Hualoy, 86 unit di Desa Tomalehu, 218 unit di Desa Tihulale, 5 unit di Desa Tala, 11 unit di Desa Rumakay, serta 5 unit di Desa Seriholo. Akibatnya, warga empat desa yaitu Latu, Hualoy, Tomalehu, dan Seriholo harus mengungsi.
Litologi Area Rawan Gempa
Berdasarkan morfologi wilayah terdampak gempa, area tersebut didominasi oleh dataran pantai, dataran bergelombang, dan perbukitan bergelombang hingga terjal. Data Badan Geologi menunjukkan bahwa daratan wilayah ini terdiri dari batuan pra tersier berupa batuan metamorf, tersier berupa batuan sedimen, serta endapan kuarter hasil sedimentasi pantai dan sungai.
Supartoyo menjelaskan bahwa endapan kuarter dan batuan yang telah mengalami pelapukan biasanya bersifat lunak, lepas, dan belum kompak. Karakteristik ini memperkuat efek guncangan gempa. Tim menyimpulkan bahwa gempa tidak menyebabkan pergeseran di permukaan (surface rupture), serta tidak ada bahaya ikutan seperti retakan tanah, penurunan tanah, likuefaksi, dan gerakan tanah. Guncangan maksimum terjadi di Desa Latu, Hualoy, dan Tomalehu, dengan skala IV MMI. Skala ini menunjukkan bahwa gempa dirasakan banyak orang di dalam rumah dan sebagian di luar rumah, serta bisa membuat dinding berbunyi.
Meskipun skala IV MMI tidak tergolong besar, karena terjadi secara terus-menerus, gempa ini mengakibatkan kerusakan pada rumah penduduk. Hasil pengukuran mikrotremor menunjukkan bahwa tanah yang tebal di sekitar Kabupaten Seram Bagian Barat mengalami penguatan gelombang seismik. Selain itu, kondisi bangunan di sana cenderung tidak tahan terhadap guncangan.
Area Paling Rawan Gempa di Seram Bagian Barat
Tim menyimpulkan bahwa Kecamatan Amalatu di Kabupaten Seram Bagian Barat tergolong rawan gempa dan tsunami. Wilayah ini paling dekat dengan sesar aktif di selat antara Pulau Seram dan Pulau Haruku-Saparua, serta dari penunjaman lempeng di Laut Banda. Sumber pembangkit tsunami adalah gerakan tanah di pantai dan laut yang dapat dipicu oleh gempa bumi kuat. Amalatu juga rentan dilanda pergerakan tanah jika diterpa curah hujan tinggi.
Tim tanggap darurat Badan Geologi menyarankan mitigasi bencana geologi di Kabupaten Seram Bagian Barat. Regulator setempat diimbau segera menentukan tempat dan jalur evakuasi, termasuk melatih mobilitas tanggap bencana menuju titik aman. Sosialisasi soal kondisi rawan, terutama di Desa Latu, Hualoy, dan Tomalehu, dianggap penting. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat diminta menyusun dokumen rencana kontinjensi untuk Kecamatan Amalatu dan memutakhirkan peta kawasan rawan bencana gempa dan tsunami yang bisa mengacu pada data Badan Geologi.