Tidak Ada Hutan Lagi, Suku Anak Dalam Bertahan Hidup

Featured Image

Kehidupan Orang Rimba yang Berubah Akibat Perubahan Lingkungan

Di Desa Pelakar Jaya, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Merangin, Jambi, sejumlah perempuan dari komunitas Orang Rimba berkumpul di sebuah bangunan pondok yang berfungsi sebagai aula permukiman. Mereka adalah bagian dari kelompok atau rombongan yang memilih untuk menetap setelah sebelumnya hidup nomaden. Salah satu anggota dari kelompok tersebut, Indo Penyarak, berusia 60 tahun, menjelaskan bahwa keputusan untuk menetap dilakukan karena hutan yang dulu menjadi tempat tinggal mereka sudah tidak ada lagi.

“Kami memilih menetap karena sudah tidak ada lagi hutan bagi orang rimba,” ujarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, Penyarak dan rekan-rekannya menggantungkan hidup dengan memungut brondol sawit dari kebun milik warga atau perusahaan. Brondol sawit adalah bagian dari buah atau biji sawit yang lepas dari tandannya saat buah terlalu masak atau jatuh selama proses pemetikan. Namun, kebiasaan ini sering kali mendapat tantangan dari pemilik kebun.

“Kadang dapat izin, kadang nggak dikasih karena harga brondol lebih mahal daripada harga sawit,” katanya. Dalam sehari, ia bisa mengumpulkan antara 3 hingga 5 kilogram brondol sawit. “Kalau tidak dapat brondol, kami tidak makan, karena hutan sudah tidak ada, dan sudah tidak bisa berburu lagi,” tambahnya.

Di Desa Pelakar Jaya terdapat dua kelompok Suku Anak Dalam yang kini hidup beralih dari nomaden menjadi menetap. Salah satunya adalah rombongan Tumenggung Yudi yang terdiri dari 24 kepala keluarga, termasuk Penyarak. Rombongan kedua adalah Abas, yang bermukim dua kilometer jauhnya dari aula. Total populasi Orang Rimba di desa ini mencapai 137 jiwa.

Tumenggung Yudi menjelaskan bahwa rombongannya bermukim sejak 2018. Mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa 25 unit rumah di atas lahan seluas sekitar satu hektare. Di dalamnya termasuk fasilitas MCK, jalan beton, dan balai pertemuan. “Kami memilih menetap karena sudah tidak ada pilihan lain,” ujarnya.

Kepala Desa Pelakar Jaya, Ayip, menyebutkan bahwa kondisi kesehatan warga Orang Rimba sangat memprihatinkan di awal hidup dengan cara bermukim menetap. Ia menyoroti tingginya kasus tuberkulosis (TBC) paru pada anak-anak. “Dulu banyak anak yang terjangkit TBC, sekarang kasus seperti itu sudah menurun,” ujar Ayip.

Menurut Ayip, keberadaan kader TB yang rutin mengedukasi Suku Anak Dalam telah memberikan hasil. Ia mengklaim, dalam beberapa tahun terakhir tidak ada lagi angka kematian akibat penyakit tersebut. Saat ini, tantangan utama adalah meningkatkan kualitas ekonomi warga Orang Rimba. Program ketahanan pangan seperti budi daya padi dan sayuran telah dijalankan, namun belum memberikan hasil optimal.

“Sayuran yang dijual tidak laku dan mereka lebih memilih memungut brondol sawit meskipun hasilnya tidak seberapa,” kata Ayip. Potensi lain yang sedang dikembangkan adalah beternak sapi. “Sudah pernah jual sapi dan harga lumayan, jadi sebagian warga mulai berpikir untuk berternak,” tambahnya.

Tumenggung Juray, yang memimpin rombongan terpisah di Pematang Kejumat, Kelurahan Limbur Tembesi, Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, juga membenarkan cerita Ayip. Menurutnya, ketika memungut brondol sawit, tuduhan pencurian sering dialamatkan kepada orang rimba. Padahal, mereka hanya mengambil yang sudah jatuh.

“Kalau kami tidak melakukan itu, kami semua tidak makan, babi dan hewan buruan sudah habis karena hutan sudah berganti sawit,” ujarnya. Untuk menghindari konflik, Juray mengatakan kelompoknya berkomunikasi dengan warga desa dan pemerintahannya agar mendapat izin memungut brondol sawit yang telah jatuh. “Kesepakatannya kami bisa mengambil brondol yang tidak lagi diambil oleh pemilik kebun,” tambahnya.

Hingga saat ini, populasi Suku Anak Dalam atau orang rimba tersisa 5.750 jiwa atau 1.477 kepala keluarga di seluruh Jambi. Mereka tersebar di beberapa kabupaten, seperti Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, Jabung Barat, dan Batanghari. Perubahan lingkungan dan alih fungsi hutan menjadi kebun sawit menjadi faktor utama yang menyebabkan pergeseran pola hidup mereka.

Komentar

Disqus Comments