
Edukasi Penting untuk Menangani Kanker Ovarium
Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kanker ovarium yang sering kali diabaikan, sebuah acara edukasi bertajuk “Kanker Ovarium: Bahaya Tersembunyi yang Harus Diwaspadai” digelar oleh AstraZeneca pada hari Kamis (24/7/2025) di Jakarta. Acara ini menampilkan berbagai ahli kesehatan yang menjelaskan pentingnya deteksi dini dan penanganan tepat terhadap kanker ovarium. Tujuannya adalah agar perempuan Indonesia memiliki peluang hidup yang lebih baik serta dukungan psikososial yang kuat.
Menurut data terbaru dari Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2022, kanker ovarium menduduki peringkat ketiga sebagai kanker paling umum pada perempuan di Indonesia, setelah kanker payudara dan kanker serviks. Jenis yang paling umum adalah kanker ovarium epitelial, yaitu kanker yang berkembang di lapisan luar ovarium. Sayangnya, kanker ini sering disebut sebagai "silent killer" karena gejalanya tidak spesifik dan sering muncul saat stadium sudah lanjut.
Banyak perempuan baru menyadari keberadaan penyakit ini setelah mengalami nyeri panggul yang tidak kunjung hilang, perut membesar tanpa sebab jelas, atau gangguan pencernaan yang sering dianggap remeh. Oleh karena itu, edukasi dan skrining rutin sangat penting agar kanker ovarium bisa terdeteksi lebih awal, sehingga peluang pengobatan lebih besar dan kualitas hidup pasien bisa lebih terjaga.
Sulit Dideteksi, Kenali Gejalanya
Dalam paparannya, dr. Muhammad Yusuf, Sp.OG(K)Onk, dokter spesialis obstetri dan ginekologi konsultan onkologi, menjelaskan bahwa kanker ovarium sering kali terlambat terdiagnosis karena gejalanya yang tidak spesifik. Berbeda dengan beberapa jenis kanker lainnya, hingga saat ini belum ada metode skrining yang benar-benar akurat dan dapat diandalkan untuk mendeteksi kanker ovarium sejak dini. Oleh karena itu, pencegahan bisa dilakukan dengan mengenali gejala sedini mungkin.
Gejala umum yang sering dilaporkan mencakup kembung berkepanjangan, gangguan makan seperti cepat kenyang, nyeri panggul atau perut, serta gejala saluran kemih seperti sering buang air kecil. Selain itu, gejala lain yang bisa muncul termasuk perubahan kebiasaan buang air besar, perdarahan abnormal (terutama pascamenopause), kelelahan ekstrem, serta penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan.
Gejala-gejala tersebut sebaiknya tidak disepelekan. “Penting bagi setiap perempuan untuk tidak mengabaikan gejala-gejala ini dan segera berkonsultasi ke dokter jika merasakan keluhan yang mencurigakan,” ujar dr. Yusuf. Yang mengkhawatirkan, sekitar 66 persen perempuan belum pernah mendengar tentang kanker ovarium sebelum didiagnosis.
Kenali Faktor Risiko Kanker Ovarium
Lebih lanjut, dr. Yusuf menjelaskan bahwa ada sejumlah faktor risiko yang bisa meningkatkan risiko perempuan terkena kanker ovarium. Salah satu faktor yang paling signifikan adalah riwayat keluarga, terutama jika ada kerabat tingkat pertama seperti ibu atau saudara kandung yang pernah didiagnosis dengan kanker ovarium.
Selain itu, riwayat reproduksi juga berpengaruh. Menstruasi yang dimulai terlalu dini, tidak pernah hamil, atau mengalami menopause pada usia yang lebih tua dari rata-rata juga dapat meningkatkan risiko kanker ovarium. Faktor genetik juga berperan besar, khususnya mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2 yang dikenal sebagai gen kanker payudara. Gangguan pada mekanisme perbaikan DNA seperti homologous recombination deficiency (HRD) juga berkontribusi.
Tak hanya itu, obesitas dan pertambahan usia turut memperbesar risiko kanker ovarium. Meski demikian, dr. Yusuf menegaskan bahwa menjalani gaya hidup sehat bisa membantu menurunkan risiko secara signifikan. “Beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan antara lain menjaga berat badan ideal, menerapkan pola makan sehat dan seimbang, menggunakan kontrasepsi oral, berhenti merokok, serta menghindari terapi hormon jika tidak diperlukan,” ungkapnya.
Penanganan Kanker Ovarium Stadium Lanjut
Pada kasus kanker ovarium stadium lanjut, penanganan medis biasanya dimulai dengan tindakan operasi besar. Menurut dr. Yusuf, prosedur ini mencakup pengangkatan satu atau kedua ovarium, tuba falopi, rahim, serta seluruh jaringan kanker yang terlihat secara kasat mata. Setelah operasi, pasien umumnya harus menjalani kemoterapi untuk menghancurkan sel-sel kanker yang tersisa.
Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Setelah menyelesaikan kemoterapi dan memasuki fase remisi, mempertahankan kondisi bebas kanker menjadi prioritas utama. “Masalah utama pada kanker ovarium stadium lanjut adalah tingginya tingkat kekambuhan, bahkan setelah pengobatan lini pertama yang agresif,” jelas dr. Yusuf. Ketika kekambuhan terjadi, pasien biasanya harus kembali menjalani kemoterapi, meskipun periode remisi cenderung lebih pendek dan risiko komplikasi atau kematian meningkat.
Dalam beberapa kasus, terapi target dapat diberikan sebagai bagian dari pengobatan lanjutan. Terapi ini ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan molekuler pasien, khususnya terkait mutasi gen BRCA dan kondisi HRD.
Kanker ovarium merupakan kondisi yang membahayakan. Karena belum ada metode skrining yang benar-benar akurat untuk mendeteksi kanker ovarium sejak dini, mengenali gejala kanker ovarium sangat penting untuk menurunkan risiko kematian.